Minggu, 20 Januari 2013

Formalin


Formalin

BAB II
ISI

2.1 Pemaparan Data

2.1.1 Sifat Umum Formalin
Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi (10-40)% formaldehida (Jurdawanto, 2006). Nama lain formalin yang biasanya digunakan dalam perdagangan, yaitu formol, morbicid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene, methylene aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan, methylene glycol, paraforin, polyoxymethylene glycols, superlysoform, tetraoxymethylene, dan trioxane (Anonim, 2005).
Formalin merupakan formaldehid yang dilarutkan dalam air dan mengalami polimerisasi, dengan monomer H2CO. Umumnya polimerisasi ini menggunakan metanol untuk membatasi reaksi yang terjadi (Anonim, 2006).
Formaldehid yang terkandung dalam formalin bersifat racun, hal ini disebabkan adanya gugus CO atau aldehid. Gugus ini bereaksi dengan amina yang terdapat pada protein dan menghasilkan metenamin atau heksametilentetramin (Nurachman, 2005).
Sifat formaldehid dalam formalin tidak sereaktif dalam bentuk murninya, tapi zat ini tetap bersifat pereduksi yang kuat. Secara umumnya, zat ini dapat meracuni tubuh baik menyusup melalui pernapasan, percernaan, maupun kulit (Nurachman, 2005).
Formalin dapat meracuni tubuh atau bahkan mematikan bagi manusia dengan kadar 17 mg per meter kubik per 30 menit melalui pernapasan dan 108 mg per kilogram berat badan melalui mulut (Nurachman, 2005).



2.1.2 Kegunaan Formalin
Formalin dalam kehidupan sehari-hari dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan. Sebagai disinfektan, formalin dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang, dan pakaian (Anonim, 2006).
Dalam bidang medis, formaldehida digunakan untuk mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dalam formaldehida sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuk mengawetkan bangkai (Anonim, 2006).
Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksi polimer dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamin, formaldehida akan menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya dipakai untuk kayu lapis/ tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busanya sebagai insulasi. Produksi resin formaldehida menghabiskan lebih dari setengahnya dari produksi formaldehida (Anonim, 2006).
Untuk mensintesa bahan-bahan kimia, formaldehida digunakan untuk produksi alkohol polifungsional seperti pentaeritritol, yang dipakai untuk membuat cat dan bahan peledak (Anonim, 2006).
Kegunaan lain dari formalin, yaitu
1. Pembasmi lalat dan serangga penggangu,
2. Bahan pembuatan sutra sintesis, zat pewarna, cermin, kaca,
3. Pengeras lapisan gelatin dan kertas dalam dunia fotografi,
4. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea,
5. Pencegah korosi untuk sumur minyak,
6. Dalam konsentrasi yang kecil (kurang dari 1%), formalin digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih barang rumah tangga, cairan pencuci piring, perawatan sepatu, shampoo mobil, lilin, dan pembersih karpet.
7. Industri penyamakan kulit dan industri pengolahan berbagai protein nabati agar berubah menjadi serat. Pada industri ini, formaldehida yang telah bereaksi hilang sifat racunnya.
(Anonim, 2006).

2.1.3 Penggunaan Formalin yang Salah
Salah satu bentuk penggunaan formalin yang salah, yaitu digunakannya formalin sebagai bahan pengawet pada makanan. Beberapa contoh makanan yang diduga menggunakan pengawet formalin, yaitu ikan segar, ikan asin, mi basah, tahu, dan bakso. Adapun ciri-ciri bahan makanan tersebut adalah
1. Mi basah yang menggunakan formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar (25°C) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10°C),
- Bau agak menyengat,
- Tidak lengket dan mi lebih mengkilap dibandingkan mi normal.
2. Tahu yang menggunakan formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (25°C) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10°C),
- Tahu terlampau keras namun tidak padat,
- Bau agak menyengat, bau formalin.
3. Bakso yang menggunakan bakso, dengan ciri
- Tidak rusak sampai lima hari pada suhu kamar (25°C),
- Teksturnya sangat kenyal.
4. Ikan segar yang mengandung formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (25°C),
- Warna insang merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah segar dan warna daging ikan putih bersih.
5. Ikan asin yang mengandung formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar (25°C),
- Bersih cerah,
- Tidak berbau khas ikan asin.
(Anonim, 2006).

2.1.4 Dampak Formalin Bagi Kesehatan
a. Bahaya jangka pendek
- Bila terhirup, maka dampak pada kesehatan, yaitu iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernapasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk.
- Bila terkena kulit, maka dampak pada kesehatan, yaitu menimbulkan perubahan warna kulit, yakni menjadi memerah, mengeras, mati rasa, dan ada rasa terbakar.
- Bila terkena mata, maka dampak pada kesehatan, yaitu menimbulkan iritasi mata sehingga mata memerah, rasa sakit, gatal-gatal, penglihatan kabur, mengeluarkan air mata. Bila bahan berkonsentrasi tinggi, maka formalin dapat menyebabkan pengeluaran air mata yang hebat dan terjadi kerusakan pada lensa mata.
- Bila tertelan, maka dampak pada kesehatan, yaitu mulut, kerongkongan, dan perut akan terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah, dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi, kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu, dapat juga terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal.
(Departemen Kesehatan, 2006).
b. Bahaya jangka panjang
- Bila terhirup, maka dampak kesehatan, yaitu menimbulkan sakit kepala, gangguan pernapasan, radang selaput lendir, luka pada ginjal, dan sensitasi pada paru-paru efek neuropsikologis meliputi gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan terganggu, kehilangan kosentrasi dan daya ingat berkurang, gangguan kemandulan pada perempuan. Selain itu, kanker pada hidung, rongga hidung, tenggorokan, paru-paru dan otak (Departemen Kesehatan, 2006).
- Bila terkena kulit, maka dampak kesehatan, yaitu kulit terasa panas, mati rasa serta gatal-gatal, memerah, kerusakan pada jaringan, pengerasan kulit, dan terjadi radang kulit yang menimbulkan gelembung (Departemen Kesehatan, 2006).
- Bila terkena mata, maka dampak kesehatan, yaitu terjadinya radang selaput mata(Departemen Kesehatan, 2006).
- Bila tertelan, maka dampak kesehatan, yaitu menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada kerongkongan, penurunan suhu badan, serta rasa gatal pada dada (Departemen Kesehatan, 2006). Selain itu, bila makanan yang mengandung formalin yang masih terdapat formaldehid bebas tertelan, maka dapat merusak informasi genetik, sehingga dapat menimbulkan penyakit genetik yang baru, cacat gen, selain itu juga dapat mematikan sisi aktif protein, maka molekul-molekul tersebut akan kehilangan fungsi dalam metabolisme, akibatnya kegiatan sel akan berhenti (Nurachman, 2005).

2.1.5 Badan-Badan yang Bertanggung Jawab Atas Pendistribusian Formalin
a. Departemen Perindustrian
b. Departemen Perdagangan
c. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
d. Departemen Kesehatan
e. Badan Pengawas Obat dan Makanan
f. Departemen Agama
(Anonim, 2006).






2.1.6 Undang-Undang yang Terkait dengan Kasus Penyalahgunaan Formalin
Undang-undang yang berkaitan dalam penyalahgunaan formalin pada kasus ini, yaitu
1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 mengenai pangan termasuk penggunaan bahan yang dilarang dipakai sebagai bahan tambahan pangan, dan pelakunya akan dihukum dengan hukuman penjara lima tahun atau denda 600 juta rupiah (Anonim, 2006).
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen, dimana konsumen berhak mendapatkan dan bisa mengadakan keberatan atas produk yang dibelinya, kerugian yang diterima konsumen dapat diganti dengan hukuman penjara bagi pelaku selama 2 tahun penjara atau 5 milyar rupiah (Anonim, 2006).
3. UU RI No. 9 Tahun 1960 mengenai pokok-pokok kesehatan, pada pasal 11 ayat 2 dijelaskan bahwa pemerintah menguasai, mengatur, dan mengawasi persediaan, pembuatan, penyimpanan, peredaran, dan pemakaian obat (Termasuk obat bius dan minuman keras, bahan obat, dan alat kesehatan lainnya (Santoso, 2004).
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/ Menkes/ PER/ X/ 1999, mengenai pelarangan digunakannya formalin dan metahnyl yellow sebagai bahan tambahan pangan (BTP) dalam makanan (Anonim, 2006).

2.2 Landasan Teori dan Analisis

2.2.1 Logika
Logika adalah suatu studi tentang metode dan prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dan tidak tepat (Meliono.dkk, 2006). Logika yang akan digunakan dalam analisis kasus ini adalah logika ilmiah. Tapi pertama-tama kita harus mengetahui definisi dari logika ilmiah tersebut. Bersumber pada modul MPKT 2006, Irmayanti Meliono, dkk menjelaskan bahwa logika ilmiah adalah logika yang akan diperoleh dengan mempelajari secara formal dalam berbagai jenjang pendidikan mengenai metode dan prinsip serta ketepatan berfikir sesuai dengan hukum penalaran.
Berpijak pada landasan teori di atas, kasus penyalahgunaan formalin dalam makanan khususnya pada permasalahan quality control penggunaan formalin di tingkat pedagang memiliki analisa sebagai berikut:
Seperti pemaparan data sebelumnya, formalin memiliki zat baku pembentuknya, yaitu zat kimia yang bernama forlmaldehida. Berdasarkan sifat asli dari zat pembentuknya, yaitu formalidehida yang bersifat racun, karsinogenik, serta membahayakan bagi kesehatan, maka sifat-sifat ini masih terkandung dalam larutan formalidehida tersebut, atau yang kita kenal dengan nama pasar formalin. Selain itu, formalin pada penggunaan seharusnya adalah untuk bahan industri yang bersifat desinfektan atau untuk membunuh bakteri-bakteri merugikan selama pengolahan industri, selain industri makanan.
Kedua, dalam penggunaan formalin untuk barang dagangan mereka, para pedagang tidak pernah memperhitungkan seberapa banyak takaran formalin yang ia berikan untuk mengawetkan barang dagangannya tersebut. Mereka hanya menggunakan “insting” mereka untuk mengukur sebera banyak formalin yang diberikan.
Dari tindakan seperti di atas, secara logika kita dapatkan bahwa makanan dengan pengawet formalin sangatlah berbahaya, karena formalin tersebut akan mengadung zat yang dapat merusak nilai gizi dari makanan yang kita konsumsi, selain itu, berdasarkan sifatnya penggunaan formalin dalam makanan akan berdampak pada rusaknya struktur makanan sehingga enzim yang terdapat dalam tubuh tidak mampu mengenali spesifikasi makanan yang kita konsumsi, maka hal ini akan membuat makanan tersebut sulit dicerna oleh tubuh. Hal berbahaya lain yang dapat timbul akibat penggunaan formalin dalam makanan adalah jika sesungguhnya formalin bersifat desinfektan, maka formaldehida aktif yang tersisa dalam makanan akan mematikan bakteri-bakteri “baik” yang terdapat dalam saluran pencernaan kita, dengan begitu sistem pencernaan tidak dapat bekerja secara normal dan residu-residu yang dihasilkan dapat menimbulkan kanker yang berbahaya dalam saluran pencernaan kita.
Dari uraian diatas secara logika dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan adalah berbahaya bagi kesehatan kita semua, belum lagi bila hal tersebut dikaitkan dengan tidak adanya quality control dalam penggunaanya oleh para pedagang, maka semakin besar bahaya yang kita temui, hal ini karena kita tidak mengetahui seberapa kadar formalin yang digunakan oleh para pedagang tersebut, jika takaran yang mereka berikan tersebut melebihi ambang batas kadar formalin yang ditolerir oleh tubuh, maka akibat kurangnya quality control ini bisa mengakibatkan formalin tersebut dapat terakumulasi dalam tubuh dengan jumlah yang semakin meningkat, dan hal paling berbahaya yang dapat timbul bagi tubuh adalah bisa menimbulkan kematian.

2.2.2 Sumber Nilai Akhlak dan Budi Pekerti
Pada sub bab ini, sumber nilai akhlak dan budi pekerti yang akan dibahas adalah agama dan tradisi. Pada sub bab kali ini juga akan dianalisis bagaimana agama dan tradisi membentuk nilai akhlak dan budi pekerti para pihak yang berhubungan dengan penyalahgunaan formalin dalam kasus quality control penggunaan formalin di kalangan para pedagang.
Pertama, agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong, penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Dalam keadaan demikian secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya, dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para warga masyarakat sebagai tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci (Meliono.dkk, 2006).
Berdasarkan sudut pandang agama, formalin mungkin akan sedikit sulit untuk dibahas, hal ini karena efek negatif yang ditimbulkan oleh formalin tidak langsung terlihat, tetapi akan timbul jika zat formalin ini telah terakumulasi dalam tubuh. Karena sifatnya yang demikian maka, formalin berserta tindakan pengawetan ini di kelompokkan pada perbuatan atau benda yang mubah hukumnya. Penentuan hukum ini dikutip dari pernyataan kaidah fikih oleh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya yang berjudul Asy-Syakhshiyah. Ia mengatakan bahwa “Setiap kasus dari suatu perbuatan/ benda yang mubah, jika berbahaya atau membawa pada bahaya, maka kasus itu saja yang haram, sedang hukum asalnya tetap mubah.”
Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa para pedagang yang menggunakan formalin untuk mengawetkan barang dagangannya sangat tidak mencerminkan perilaku orang yang beragama. Dalam agama jelas bahwa semua orang hendaklah berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, tetapi perilaku para pedagang tersebut tidak mencerminkan sifat terpuji sebagai pencerminan nilai-nilai agung agama.
Selain itu, akhlak para pedagang tersebut tidak mencerminkan kesalehan pribadi dan sosial, karena dengan menggunakan formalin dalam barang dagangannya, maka ia akan merusak orang lain, berupa merusak kesehatan orang yang memakannya, serta dia merusak dirinya sendiri, karena dengan tindakan tersebut dia akan berbuat suatu tindakan dosa yang akan merugikan dirinya sendiri kelak. Tindakannya akan merugikan diri sendiri karena dalam perintah agama di beritakan bahwa semua perilaku kita di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Kedua, secara tradisi, yaitu sebagai suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama, dilaksanakan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya tersebut akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Manusia dalam berbuat akan melihat realitas lingkungan sekitarnya sebagai upaya dari sebuah adaptasi walaupun sebenarnya dia telah mempunyai motivasi berperilaku yang sesuai dengan tradisi yang ada pada dirinya (Meliono.dkk, 2006).
Pembentukan akhlak para pedagang ini dimulai dari tradisi para pedagang sebelumnya, seperti pada fakta yang terjadi, mayoritas para pedagang memberi formalin pada tahu, ikan asin, ayam potong, dan mie basah disebabkan karena pemberitahuan para pedagang sebelumnya, dan terus begitu, sehingga perilaku ini telah dibentuk oleh tradisi para pedagang sebelumnya.

2.2.3 Nilai Akhlak dan Budi Pekerti
Pada sub bab ini akan dikaji penyalahgunaan formalin berdasarkan nilai akhlak dan budi pekerti. Nilai akhlak dan budi pekerti yang akan digunakan adalah nilai keadilan dan nilai tanggung jawab. Berdasarkan asal katanya keadilan sebagai keadaan seimbang dan tidak berat sebelah. Sikap seimbang disini adalah seimbang antara hak dan kewajiban. Berdasarkan azas kualifikasinya, yaitu keadilan yang didasarkan pada kenyataan bahwa yang bersangkutan akan dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya (Meliono.dkk, 2006). Melihat dari azas ini, para pedagang tidaklah bersikap adil sebagai peranannya yang menyalurkan atau mungkin sekaligus membuat bahan makanan untuk masyarakat umum. Seharusnya mereka dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik tanpa harus merugikan orang lain. Selain itu, Penggunaan formalin menunjukkan bahwa para pedagang umumnya hanya menginginkan untuk mendapatkan haknya saja tanpa memikirkan kewajibannya, serta tidak mengindahkan hak orang lain. Dalam suatu perdagangan, sudah sepatutnyalah terjadi transaksi yang adil dan saling menguntungkan, tapi dalam kasus ini keadilan tersebut belumlah ada.
Hal lain yang sangat erat dengan keadilan adalah nilai kejujuran, dengan menggunakan formalin sebagai pengawet barang dagangannya, maka pedagang tersebut sudah bertindak tidak jujur kepada masyarakat. Jika nilai kejujuran ini belum dapat ditegakkan, maka dapat dikatakan sama dengan belum melakukan tindakan yang adil.
Nilai tanggung jawab memiliki beberapa pengertian, salah satunya adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya, berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Nilai tanggung jawab dapat dikelompokkan seperti, nilai tanggung jawab terhadap diri sendiri, nilai tanggung jawab terhadap masyarakat, dan nilai tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai tanggung jawab terhadap diri sendiri, yaitu setiap individu bertanggung jawab sebagai pengisi rentang waktu kehidupannya. Artinya ia bertanggung jawab atas kegiatan yang ia lakukan untuk kelangsungan hidupnya. Nilai tanggung jawab ini bisa hilang bila setiap individu dalam masyarakat tidaklah memperhatikan apa yang ia lakukan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam kasus penggunaan formalin ini, tidak jarang kita temui sebagian masyarakat yang sudah mengetahui bahaya akan formalin tetap saja memakannya atau menganggap enteng formalin. Tindakan ini akan merugikan kesehatan diri mereka sendiri yang akan berpengaruh pada kelangsungan hidup mereka. Hal ini juga berhubungan dengan nilai tanggung jawab mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan bertindak demikian maka, mereka berarti tidak mengindahkan perintah Tuhan, yaitu untuk menjaga dan berbuat baik kepada diri sendiri.
Nilai tanggung jawab tersebut tidak hanya untuk para konsumen saja, tetapi juga menyangkut kepada nilai tanggung jawab yang harus dimiliki oleh para pedagang. Para pedagang tersebut tidak mengindahkan nilai tanggung jawabnya kepada masyarakat dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai tanggung jawab terhadap masyarakat, disini para pedagang sebagai anggota masyarakat yang saling berinteraksi seharusnya melakukan hak dan kewajibannya dengan seimbang. Dengan menggunakan formalin sebagai pengawet, maka para pedagang tidak melakukan kewajibannya kepada masyarakat untuk berdagang tanpa merugikan orang lain dan tidak melanggar hak orang lain. Selain itu mereka juga seharusnya menyadari nilai tanggung jawabnya kelak terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan bersikap demikian seperti pada kasus, maka mereka tidak mengindahkan perintah Tuhan, yaitu untuk tidak merusak diri sendiri dan tidak merusak diri orang lain.
Nilai tanggung jawab ini juga tidak hanya dimiliki oleh konsumen dan para pedagang, dalam kasus ini pemerintah dalam hal ini badan-badan yang terkait seharusnya memiliki nilai tanggung jawab terhadap masyarakat atau warga, yaitu bertanggung jawab atas segala kelayakan seluruh makanan yang beredar dalam masyarakat. Mengapa penggunaan formalin masih terus berlangsung hingga saat ini? Hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya dalam pengawasan badan yang terkait seperti BPOM yang seharusnya dapat mengawasi alur pendistribusian makanan yang ada. Setiap peredaran makanan seharusnya dapat diawasi dengan ketat bagaimana pembuatannya dan bahan-bahan apa yang dimasukkan kedalamnya. Dalam menyikapi hal ini sudah selayaknya BPOM mengeluarkan solusi untuk menanggulangi permasalahan yang ada. Solusi ini mungkin dapat berupa tindakan BPOM untuk melakukan sertifikasi kepada setiap makanan yang akan diproduksi dan boleh beredar di masyarakat, hal ini untuk memperkecil penggunaan formalin sebagai pengawet makanan.

2.2.4 Penerapan dan Permasalahan Akhlak dan Budi Pekerti
Pada sub bab ini, yaitu penerapan dan permasalahan akhlak dan budi pekerti hanya akan dibahas mengenai kehidupan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan kehidupan sosial aspek yang berkaitan disini, yaitu kepedulian sosial dari setiap pihak yang berperan dalam penggunaan formalin dan juga bagaimana akhlak dan budi pekerti yang tertanam dalam kehidupan sosial menjadi suatu filter bagi pihak tersebut dalam mengambil suatu tindakan.
Pada fakta yang terjadi, terlihat bahwa para pedagang yang menyalahgunakan formalin tidak memiliki kepedulian terhadap dampak dari perbuataannya tersebut. Ini dapat disimpulkan dari sikap mereka yang tetap menggunakan formalin sebagai pengawet, walaupun terkadang mayoritas dari para pedagang tersebut mengetahui bahaya yang akan menyerang masyarakat yang mengonsumsi makanan yang mereka jual. Dalam kasus ini sifat kepedulian dari para pedagang boleh dikatakan kecil sekali, karena sebagai anggota masyarakat yang berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur, seharusnya mereka tidak mementingkan kepentingan mereka sendiri dan membahayakan orang lain.
Selain hal di atas, jika ditilik ulang, manusia sebagai anggota masyarakat yang memiliki pedoman yang kuat dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak akan gamang menghadapi berbagai cobaan, ia akan cepat mencari solusi atau jalan keluar yang mulus (Meliono.dkk, 2006). Berdasarkan pernyataan literatur tersebut, seharusnya hal ini juga dapat dilakukan oleh para pedagang, seharusnya mereka dapat mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah pengawet formalin ini, yaitu seperti dengan menggunakan pengawet yang tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
Selain kepedulian dan peran akhlak dan budi pekerti sebagai filter dalam bertindak, maka penyalur makanan yang menggunakan formalin dan pihak yang mengawasi peredaran makanan untuk masyarakat selayaknya memiliki kesadaran akan bahaya dari formalin yang dapat merugikan setiap individu di masyarakat.
Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada aspek ini, hendaklah perkembangan ilmu pengetahuan mengindahkan nilai-nilai luhur akhlak dan budi pekerti secara komprehensif, sehingga nilai negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dapat dieliminir (Meliono.dkk, 2006).
Tapi dalam kasus pemakaian formalin tidak pada tempatnya ini, terlihat dengan jelas bahwa hasil ilmu pengetahuan seperti formalin disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Hal ini bertentangan dengan nilai akhlak dan budi pekerti, seperti ilmu pengetahuan ditujukan untuk kebaikan. Dalam kasus ini, para pedagang tidak menerapkan nilai tersebut, karena dalam perkembangan ilmu pengetahuan seharusnya menguntungkan khalayak ramai dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Penyalahgunaan yang salah dari formalin ini mungkin juga dapat disebabkan oleh kurang kritisnya sebagian para pedagang, sehingga mereka tidak mengetahui dampak negatif formalin sebelum mereka menggunakannya sebagai pengawet makanan.

2.2.5 Negara dan Hukum
Menurut cara pandang bangsa Indonesia, hukum adalah alat untuk menyelenggarakan ketertiban(kehidupan negara), sekaligus juga untuk mencari dan mewujudkan kemakmuran (kesejahteraan sosial) yang bersifat demokratis, adil, dan berperikemanusian (Meliono.dkk, 2006). Oleh karena itu, terselenggaranya ketertiban dalam suatu negara dapat mencerminkan adanya hukum dalam negara tersebut ( Padmo Wahyono, Pembangunan Hukum Indonesia, hal.15 dalam Meliono, dkk., 2006).
Dalam kasus penyalahgunaan formalin ini, kita dapat melihat belum adanya ketertiban dalam pendistribusian formalin, sehingga mengakibatkan penyalahgunaan formalin banyak ditemukan dimana-mana. Ini menunjukan bahwa kinerja hukum dalam negara kita belum berjalan dengan baik, selain hal di atas ditemukan pula fakta bahwa para pelanggar atau pihak yang menyalahgunakan formalin tidak diberikan sanksi atas tindakannya tersebut.
Saat kita membicarakan hukum maka akan muncul suatu kata yaitu keadilan. Sebenarnya hukum tidak identik dengan keadilan, tetapi bertujuan untuk mewujudkan keadilan demi kepentingan rakyat banyak. Keadilan menuntut adanya perlakuan dan pelaksanaan hukum secara objektif. Dalam hal ini kemandirian hukum untuk mewujudkan keadilan harus dipegang teguh. Namun gejala-gejala yang menunjukkan bahwa sanksi hukum tidak dilaksanakan secara konsekuen, menimbulkan kesan pelaksaan hukum hanya sebagai formalitas belaka (Meliono.dkk, 2006). Hal inilah yang terjadi dalam kasus penyalahgunaan formalin. Sebenarnya hukum yang mengatur tentang pendistribusian dan pemakaian formalin telah ada, yaitu: Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, dan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlundungan konsumen, serta UU No. 472/1996 tentang pengamanan Bahan Berbahaya bagi Kesehatan, dan UU No. 254/2000 tentang Tata Niaga dan Peredaran Barang Berbahaya.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, formalin termasuk dalam kategori bahan berbahaya yang penggunaannya harus diawasi secara ketat. Mulai dari pendistribusian, seharusnya pengawasan terhadap jual beli formalin harus ketat mengingat zat kimia ini cukup berbahaya. Kemudian dari segi pengendalian bahan pangan, seharusnya penggunaan formalin ditiadakan dalam pengawetan makanan. Ditemukannya formalin di berbagai jenis makanan menunjukkan tidak berfungsinya landasan hukum perdagangan. Ini diakui para penjual bahan-bahan kimia di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka tak dapat melarang atau membatasi penjualan formalin karena barang ini bisa dibeli secara bebas tanpa pengecualian. Penyimpangan-penyimpangan ini menandakan lemahnya regulasi dan pengawasan karena formalin masih saja dijual bebas.
Selain itu, pada kasus ini, penegakan hukum di Indonesia masih lemah maka para pedagang dan distributor yang menggunakan dan menyalurkan formalin tidak merasa bersalah dan takut apabila menggunakan formalin. Hal ini tentu akan sangat tidak adil apabila kita melihat konsumen yang bisa saja menderita berbagai penyakit karena mengkonsumsi produk-produk mereka.
Dalam kasus ini dan bahkan mungkin kasus yang lain para penegak hukum baru bertindak jika hal tersebut telah tersebar luas dalam masyarakat bukan sebagai pihak yang berusaha, mencegah adanya pelanggaran undang-undang yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar